Senin, 26 Mei 2008

makna kesetaraan gender

saat S1 sulu, sebenernya interes saya lebih ke psi sosial, terutama ttg kesetaraan gender
entah kenapa sejak SMU, ato SMP, saya "terobsesi" untuk banyak mendalami hal ini
meskipun beberapa orang merasa tidak perlu untuk membahas hal ini
bagi saya hal sekecil apapun menjadi perlu untuk dibahas dan dipertanyakan, karena hal kecil itu bisa menjadi titik krusial bagi sesuatu yang besar

apa makna kesetaraan gender bagi saya?
sungguh ini makna yang berbeda dengan memberikan hak dan kewajiban yang sama antara lelaki dan perempuan
karena memang jelas perempuan dan laki-laki berbeda, dari segi fisik, dan dari historis pendidikan kultural yang dialami
mestinya saya tertawa geli karena ada seorang bapak yang bilang "lha kalo karyawan perempuan itu mau disamakan haknya, ya mau dong lembur, laki-laki juga dapat cuti, kayak cuti hamil"
tapi bagi saya itu adalah tangisan miris bahwa seorang yang berpendidikan bahkan tidak mampu memaknai ini sebagai sebuah keadilan, keadilan pada porsi, bukan sama rata
sederhana saja jawabannya "lha, kalo laki-laki hamil juga pasti dikasih cuti..."

kesetaraan gender bagi saya lebih dari arti partisipasi perempuan di area publik
kesetaraan gender bagi saya lebih berarti memberikan pilihan bagi perempuan, tidak memaksanya melakukan pekerjaan domestik semata, namun juga tidak memaksanya masuk ke area publik
bagi saya kesetaraan gender di area publik lebih ke arah membuka kesempatan yang sama untuk perempuan berkarya, masalah dipake ato gak kesempatannya itu hal lain, tapi paling gak, ya mbok dikasih, wong kemampuannya sama aja sama lelaki
makanya, sedih sekali saya kalo tiba-tiba ada lowongan pekerjaan : khusus laki-laki, atau diutamakan belum menikah..
meskipun alasan kultural tadi jelas merupakan latar belakang hal ini

saya sadar sekali bahwa perempuan secara kultural diberi peran domestik
maka pendidikan melekat ini telah menjadi darah daging, dan meresap ke aspek nurani segala, maka kalo dipaksakan malah menyiksa, dan hilanglah kesetaraan gender itu
saya ingat sekali pernah bertanya hal sama pada teteh saya
apa yang dijawabnya sederhana "bahwa mendidik anak juga merupakan pekerjaan, mulia lagi, justru dia akan menyesal melepaskan peran itu"
saya masih ingat juga di blog nya bunda inong pernah cerita ketika blio ditanya mengenai perannya, padahal udah sekolah tinggi
begini jawabnya kira2 "lha emang saya sekolah untuk mendidik anak" lha emang iya kan, mendidik anak juga perlu ilmu. cara mendidik anak lulusan SD tentu beda dengan mendidik anak lulusan sarjana, meskipun gak bisa disamaratakan juga, paling tidak beda dari aspek knowledge, dan saya tidak berani menjamin dari aspek afektif nya

maka, kalo sekarang ada orang bertanya "fie habis lulus mau kerja dimana?"
ehmmmm...rasanya saya belum bisa melepaskan peran kultural yang sudah mendarah daging itu, apalagi tahun ini diberi amanah untuk mendidik saffa sorangan dulu, sementara ditinggal suami
maka, pilihan saya jatuh pada pekerjaan sebagai sarana aktualisasi diri semata, tapi bekerja dengan komitmen dan hati

Tidak ada komentar: