Senin, 07 April 2008

ketika kita menua...

ini adalah perdebatan, sebetulnya lebih pantas disebut tawar menawar antara saya dan suami. sederhana saja, kalau ada satu hal yang kami belum sepakati adalah mengenai jumlah anak yang kami rencanakan..
saya ingin anak paling banyak 3 aja. sebenernya alasan mengenai optimalisasi perhatian dan tentu aja pertimbangan biaya pendidikan yang semakin menggila menjadi pemikiran yang harus dikenali dari sekarang. kalau tetangga saya yang punya dua anak SD saja mesti membayar sejutaan hanya untuk SPP, berapa biaya yang harus saya keluarkan nanti. sementara, kalo menurut Kiyosaki, kami adalah kelompok pekerja yang terjerat hutang, hehe...maklum mesti nyicil rumah.
sementara suami ingin punya anak 5 (Ya Allah, tolonglah saya...), dengan pertimbangan rame. ya sebenernya reasoningnya juga masuk akal, apalagi diliat dari latar belakang suami yang hanya dua bersaudara, sepi katanya. maunya ada anak yang nemani kita pas tua, gitu kata suami.
tentu saja saya berkelit, abah dan ibu punya anak enam, semuanya terbang-terbang, gak ada yang nemani ibu saya yang sekarang sendirian di rumah. bukannya tidak mau, kami dibesarkan dalam nilai menjunjung privasi, dan menurut agama yang kami anut, rumah yang sehat adalah yang hanya ada keluarga batih. sementara ibu saya untuk diajak tinggal di rumah anaknya juga ndak mau, karena ya permasalahan privasi tadi.
saya sempat membincangkan ini dengan ibu, mengenai anak yang akan kami "sandera" untuk menemani kami di masa tua. ibu saya dengan sederhana menjawab "lha anak dibesarkan, masak mau dipegangin terus, lha dia itu sudah punya masa depan sendiri kok, kayaknya karma ya fie, semua yang sudah tua ya harus siap ditinggalkan, dulu ibu juga berumah tangga sendiri, lha gimana lagi lha wong bunde (nenek saya) gak mau ikut juga"
bagi saya, apa yang dikatakan ibu saya lebih masuk akal sekarang. keberhasilan orangtua justru akan nampak saat anaknya mampu untuk mandiri, membangun "rumah" mereka sendiri. menjadi sendiri adalah bagian dari fase yang harus kita jalani. seperti apa mendefinisikan sendiri itu, apakah menjadi kesepian, atau hanya permasalahan sendiri secara ragawi. ketika kita menua, ibarat tugas yang sudah selesai, pensiun begitu bagi yang karyawan, tinggal bagaimana kita memaknai perjalanan kita selama penugasan. apakah pensiun itu sebagai bagian dari pembuangan dan ketidakberhargaan, itu merupakan pemaknaan pribadi. saya berharap ibu saya memaknainya sebagai keberhasilan untuk mengantarkan enam anaknya membangun "rumah" nya masing-masing.

Tidak ada komentar: