Senin, 24 Maret 2008

“Kamu kan psikolog…”

Pagi ini, saya marah besar pada pembantu yang ada di rumah. Mari kita definisikan marah besar seperti apa, apakah dengan suara keras dan adegan pukul-pukulan? Tidak. Marah besar bagi saya adalah situasi marah yang bisa membuat saya menangis sesenggukan, karena saya sendiri bukan tipe orang penyimpan marah, bukan juga tipe orang yang suka teriak-teriak. Apa pasalnya saya marah besar? Pembantu saya melakukan sesuatu yang tidak saya suruh, dan jelas-jelas salah. Lha disuruh ngulek bumbu doang, lha pake dimasak lagi..sederhana kan? Tapi persoalannya gak sesederhana itu, karena itu sudah terjadi berkali-kali, kemaren dia juga baru merusakan beberapa barang, oke lah, saya kasih oke aja untuk beberapa hal di belakang itu, tapi hari ini, kepala saya rasanya mau pecah, sebelum setelahnya berasap-asap. Di pasal lain pula, beberapa malam saya tiba-tiba bangun dan mengalami sesak nafas—psikosomatis karena tesis. Saya pergi ke kamar, “mengadu pada suami”, dan dia bilang “Lha ibu kan psikolog, gimana dong caranya menghandel karyawan seperti itu?” dan saya pun semakin bete. Maunya kan dibilangin “Iya, itu ngeselin, sekarang bum cari solusinya, kira-kira apa” Lha gitu kek, ini malah disimpulkan langsung, dilibas habis dengan menyimpulkan cari lah solusinya, sebagai seorang psikolog.

Rasanya butuh shoulder to cry on lain yang lebih paham, saya telepon ibu sebagai agen teteh. Ya lumayan lah, bikin asap di kepala mendingan, dan gak jadi pecah. Tenang hati, tapi begitu dah mau tutup telp, ibu saya bilang “Ufi kan psikolog, coba tenangkan diri, gimana caranya....”

Saya jadi inget apa yang saya alami ketika di perusahaan yang manajernya psikolog. Biasalah, sesuka-sukanya bawahan sama atasan, pasti aja ada celanya “sebenarnya ibu itu baik,,,bla..bla..bla..tapi dia itu,,,bla..bla..bla..padahal kan dia psikolog”. Atau yang ini, “dosen itu kan dosen psikologi perkembangan anak, kok galak banget ya, padahal kan psikolog, ngerti kek kalo mahasiswanya juga butuh dingertiin”. Atau yang berikut ini “Wah, mbak psikolog ya, ngeri saya, takut dinilai” lalu si mbak psikolog itu menjawab “wah saya belum bisa” lalu si ibu itu menjawab lagi “ahh, mbak kan psikolog..” Addduh....

Siapa yang harus disalahkan? Gak ada. Ini permasalah stereotyping, lah wong orang dateng ke psikolog biasanya punya masalah, trus pulang-pulang mestinya wajah mereka bisa berseri. Lah kalo orang lain aja pulang bisa dengan wajah berseri setelah ketemu psikolog, apalagi tuh psikolognya. Come on...mereka lupa bahwa pekerjaan dan profesi ini ada karena orang butuh orang lain yang netral untuk bisa memandang masalah lebih clear, setiap orang bisa, cuma psikolog dibekali dengan sesuatu yang sifatnya ilmiah. Lah kalo psikolog ada di dalam masalah, kan asumsinya, dia sendiri “mungkin” akan kesulitan memandang masalah dengan clear, jadi butuh psikolog lain..mungkin orang biasa, dan pada suatu saat mungkin psikolog profesional, karena ada juga calon psikolog yang masuk RSJ. Dan saya yakin ada orang yang bergumam “padahal dia psikolog lho, kok bisa ya masuk RSJ?” Ya bisalah, psikolog juga manusia, dan sangat bisa kalo kami dipandang sebagai golongan yang bebas masalah, tahu segalanya, dan kayaknya gak butuh pertolongan saat mereka bermasalah.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

"...psikolog juga manusia, dan sangat bisa kalo kami dipandang sebagai golongan yang bebas masalah, tahu segalanya, dan kayaknya gak butuh pertolongan saat mereka bermasalah..."

Wekwekwek...iya tuh. Mentang-mentang anak psikologi ga boleh sedih, marah, ngeluh kalo capek. Harus jadi super women gitu.

Yang paling kuingat dari nasihat suamiku kalo aku bete, beliau bilang :

"Bu, kalo lagi ada masalah, coba lihat masalahmu sebagai orang luar. Lihat dari third person view. Jadi masalahnya lebih jernih dan tidak ada muatan emosional.Oya,cobalah lebih fleksibel. Pandang masalah dengan simpel."

Jleb! Syukurlah suamiku orang yang memiliki kematangan emosi yang luar biasa.

Ufi Yusuf mengatakan...

wah beruntungnya...
third person view? bukan orang ketiga kan? hehe *beneran becanda*

tp nasihat itu beneran bener nya git. kayak kita mau bebersih kalo di kecebur di lumpur kan, ya ndak bisa bersih kalo kita ndak keluar dulu dari lumpurnya..
ah..ekspektasi orang-orang itu..
ngomong2 beneran lho git, ada temen kita yang akhirnya perlu pertolongan kan (sakit)???