Jumat, 21 November 2008

protokol empati


bagi saya, psikologi memberikan lebih dari sekedar embel-embel ndak penting di belakang nama saya itu
saya belajar tentang diri saya, tentang anda, tentang mereka, tentang manusia
meskipun guyonan kami selalu "psikologi untuk anda, bukan untuk saya"

menelusur perjalanan saya di psikologi, saya menemukan salah satu moment penting di dalamnya, mengenai empati
sebegitu pentingnya, sampai seorang dosen punya protokol khusus untuk ini
pada awalnya begitu mekanistik bagi saya pribadi, di akhir saya tahu, kadangkala internalisasi butuh proses mekanistik juga..*pasti pengikut behavioris nih saya...*
first of all : perhatikan klien, fokuuus...fokuuuus
protokol lainnya adalah : pandang mata klien, rasakan emosinya
lalu : nyatakan kalimat-kalimat yang empatik
coba deh bayangin aja, kami disuruh untuk menulis kalimat empati sebanyak 10 atau 15 begitu yang ada ilustrasi kondisinya. saya kasih contoh deh:
kondisi : ibu korban pemukulan suami
ekspresi empati : "ya, pasti ibu sedih sekali, tidak terbayang suami yang sangat dicintai tiba-tiba melakukan itu. saya coba untuk memahami situasi ini, pasti sakit..."
sedangkan lainnya adalah : diijinkan untuk memegang tangan, bahu, bahkan boleh lho mijetin ringan...(catatan : tergantung kepercayaan dan norma yang anda pegang mengenai sejauh mana anda boleh menyentuh orang lain, dan seleksi sendiri, siapa yang boleh anda sentuh). ini kan masalah sensitif ya, menyangkut kepercayaan, norma dan kultur. dosen saya lain yang kuliah konseling di negeri orang malah sering kehilangan klien gara-gara masalah kultur beda ini. bayangin ya, misalnya kan di barat sana, prosedur empatik memegang tangan itu udah biasa, entah pria atau perempuan klien kita, ya ndak papa, oke aja, malah mungkin menjadi harapan bagi klien untuk meringankan bebannya. lha bagi sebagian kita, hohoho..tunggu dulu...

dan protokol lain adalah memberi penguatan untuk kalimat-kalimat dari klien, ungkapkan kemengertian kita tentang apa yang dikatakannya. seperti berikut ini
klien : "suami saya itu bu, mukuli suka di depan anak....bla..bla"
psikolog : "ya...ya..ehm..hem.." angguk-angguk
mengenai protokol ini ternyata juga ndak bebas budaya sodara-sodara. di beberapa negara, kalo kita he eh..iya..iya gitu sebelum mereka selesai cerita, dikirain kita malah ndak suka, ndak dengerin, sok tahu..

semua itu jadi kayak semacam protokol yang akhirnya mendarah daging dalam diri kami..*eh ngajak-ngajak*, saya maksudnya
maka lepas dari kalimat empatik yang sifatnya ngonseling tadi itu, saya tidak bisa melepaskan diri saya memandang orang lain dengan seksama saat mereka berbicara pada saya
atau saya kadang coba*sok-sok* paham dengan menggunakan kata "ya...ya..ya..."+angguk-angguk

ini adalah bagian dari skill yang gak ternilai, kadangkala gak disadari yang dimiliki sama temen-temen di psikologi
bahkan sama temen sendiri yang sama-sama di psikologi, saya sendiri sangat merasa dihargai dan diperhatikan kalau mereka melakukan protokol itu
tapi jangan salah, kadangkala protokol ini juga bisa jadi boomerang dalam prakteknya
ya kembali lagi, masalah kultur tadi
saya, yang memang paham betul kultur itu, ya ndak ada husnudzon atau suudzon dengan perilaku protokoler itu
tapi bagi sebagian yang ndak biasa
"apa sih, kok liatin terus pas aku cerita...."
"wah, aku pikir kamu naksir aku, soalnya kalo aku cerita kamu lihatin terus. ternyata semua juga digituin ya?"


pic from here: http://www.lapsura.com/drawings/archives/images/being-emphatic.gif

Tidak ada komentar: